MENYIKAPI KAMPANYE (POLITIK) HITAM


 

Dalam beberapa hari terakhir kampanye hitam (black campaign) kem-bali menjadi trending topic dalam perhelatan Pilgub Jabar. Pasalnya, kubu Cagub Dede Yusuf-Lex Laksamana melancarkan protes keras ke pihak KPUD dan Bawaslu Jabar, terkait beredarnya pamflet yang cenderung mendiskreditkan mereka, karena memajang wajah beberapa kader Demokrat yang tersandera kasus mega korupsi.

 

***

Resonansi kampanye hitam akan kian menguat seiring kian dekatnya akhir Pilgub di Tatar Sunda ini. Meski sejatinya kampanye hitam bukan barang baru, bahkan sudah menjadi hal ”lumrah,” bukan saja di ranah politik, juga kerap digunakan dalam bidang pemasaran. Namun, mari kita cermati fenomena kampanye hitam dari perspektif komunikasi politik dalam Pilgub Jabar.

Pertama, kampanye (politik) hitam sebagai oposisi biner untuk kampanye (politik) putih. Kampanye hitam merupakan strategi politik yang mengemas ”fakta politik” menjadi ”komoditas” dalam komunikasi politik yang bertujuan mendiskreditkan lawan politik. Selain itu Kampanye hitam kerap digunakan sebagai amunisi dalam perang wacana politik, berdamping dengan kampanye putih. Tujuannya berupaya secara sistematis bukan saja merusak citra, lebih jauh mendelegitimasi lawan politik. Pada dasarnya kampanye hitam dilancarkan sebagai senjata pamungkas untuk membunuh karakter lawan politik.

Kedua, dari aspek isu kampanye hitam kerap mengangkat beragam isu, mulai dari isu gender, perselingkuhan, korupsi, hingga isu SARA. Pemanfaatan isu SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) sebagai komoditas kampanye hitam dipandang yang paling mudah dicerna, sekaligus mudah menyulut sentimen primordialisme publik. Melalui isu SARA diharapkan mampu memengaruhi persepsi calon pemilih terkait politisi maupun partai politik tertentu.

Penggunaan berbagai isu-isu sensitif dan negatif dalam kampanye hitam biasanya digunakan untuk menghantam lawan politik dengan sejumlah alasan. Alasan pertama, manakala isu-isu normatif dalam bentuk visi dan misi partai dan kandidat dipandang sudah tidak cukup ampuh menarik perhatian publik. Alasan lain, isu negatif digunakan sebagai jalan pintas menggoyahkan legitimasi lawan politik. Isu-isu negatif, termasuk isu SARA, umumnya dimanfaatkan oleh kekuatan politik yang memiliki basis politik mayoritas secara primordial. Strategi ini digunakan untuk menyudutkan kelompok minoritas, baik secara suku, agama, ras maupun golongan.

Ketiga, kampanye hitam harus diakui merupakan sebuah paradoks dalam sistem politik modern. Keberadaan kampanye hitam sudah berlangsung sejak politik praktis diterapkan dalam kehidupan bernegara. Ironisnya lagi, praktik ini justru terjadi bukan saja di negara-negara penganut sistem politik otoriter, juga dalam sistem politik liberal. Perbedaannya, kampanye hitam di negara-negara otoriter biasanya berlangsung secara masif dan menjadi bagian dari rezim penguasa. Pesannya dikemas dan diproduksi oleh mesin politik dan didukung oleh media partisan yang telah terkooptasi oleh rezim penguasa.

Yang membedakannya, praktik kotor kampanye hitam di dalam sistem demokratis lazimnya akan di-counter oleh civil society manakala argumentasinya mudah dipatahkan, baik yang diwacanakan melalui media mainstream, maupun media alternatif lainnya.

Keempat, kampanye hitam biasanya akan tumbuh subur manakala kampanye ”putih” kehilangan legitimasinya. Kampanye hitam direspon publik karena kemasan pesannya lebih ”seksi,” meski terkadang menjadi sangat murahan karena biasanya mengobok-obok jauh ke ruang privat lawan politiknya.

Terakhir, kampanye hitam merupakan bentuk kedangkalan intelektual para politisi ketika berbagai jurus ”kampanye (politik) putih” – sebagai sebuah upaya yang terorganisir yang bertujuan untuk memengaruhi proses pengambilan keputusan para pemilih, dipandang sudah tidak lagi ampuh membujuk calon pemilihnya.

Berkembangnya kampanye hitam justru menegaskan tumpulnya kecerdasan para politisi dalam mengemas pesan politik, sehingga justru akan menjadi blunder bagi para pelakunya. Alih-alih produktif, pemanfaatan strategi kampanye hitam justru menjadi kontraproduktif karena akan menyedot habis-habisan energi positif dari pihak yang telah membuka sang ”Kotak Pandora,” kampanye hitam.

 

 

Tulisani ini pernah dimuat di Rubrik ANALISIS HU Pikiran Rakyat Januari 2013


Leave a Reply