KAUM MUDA, MEDIA DAN PEMILU


 

Di tahun politik 2014, suara pemilih pemula akan diperebutkan dalam Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres). Bahkan kedua perhelatan nasional ini diprediksi akan menjadi titik balik perpolitikan di Indonesia, dan media akan menjadi salah satu penentunya. Bagaimana peran strategis media di tahun politik?

 

*****

 

Politik dan media ibarat dua sisi mata uang. Pasalnya, praktik politik tidak bisa dilepaskan dari media, begitupun sebaliknya. Politik mendapat resonansi melalui berbagai saluran media, khususnya media massa. Sedangkan, media berperan bukan semata sebagai saluran pesan politik juga menjadi salah satu sumber penting informasi politik.

Media tidak semata berfungsi sebagai katalasitor penting dalam praktik politik, juga menjadi ”alat” untuk memobilisasi opini masyarakat. Peran media di tahun politik 2014 akan makin diperhitungkan. Media akan menjadi tumpuan partai politik dan politisi dalam merebut simpati publik dan ujung-ujungnya mendulang suara publik.

Tidak heran, sejak jauh hari partai politik dan para politisi mulai memanfa-atkan media sebagai saluran untuk memenangkan pertempuran politik melalui ”serangan udara.” Strategi yang ditempuh tidak sebatas memanfaatkan melainkan juga memiliki jaringan media sebagai terompet politiknya.

Fenomena ini sudah terlihat ketika sejumlah stasiun televisi secara terang-terangan menjadi corong bagi tiga partai politik dengan menggadang-gadang Capresnya yang akan bertarung di Pileg dan Pilpres 2014. Meskipun ketiga parpol pengusungnya belum tentu lolos dari lubang jarum ambang batas parlemen.

Belakangan yang terjadi bukan saja penguasaan jaringan transmedia, karena melibatkan lebih dari satu platform media, oleh politisi dan parpol tetapi juga kecenderungan kian tidak independennya media secara politik. Makin tidak independennya media, baik cetak, elektronik dan online, sudah tercium sejak lama. Namun, fenomena ini makin terbukan dan tidak terbendung disebabkan menguatnya kompetisi antar media. Kecenderungan oligopoli media sebagian besar bukan semata bermotif ekonomi agar tetap survival, tetapi memiliki hidden-agenda bermotif politik.

Konsekuensinya kemudian media menjadi sarana pembentukan wacana publik, khususnya dalam peristiwa politik seperti pileg dan pilpres. Jebakan menjadi partisan politik oleh media bisa tercium mulai dari program komersial iklan politik, program hiburan, juga telah merasuki ranah sakral jurnalistik: program berita. Melalui ketiga format program tadi opini publik mulai digiring oleh media massa secara masif, yang akan bermuara pada pemenangan parpol dan capres yang diusungnya.

Menolak Dominasi Media Partisan

Di tengah gegap gempita tahun politik, salah satu indikator keberhasilan Pemilu 2014 sangat ditentukan oleh tingkat partisipasi warganegara. Untuk Pilpres dan Pileg tahun ini dari sekira 238 juta penduduk Indonesia, terdapat hampir 53 juta pemilih muda, dan 14 juta diantaranya merupakan pemilih pemula yang berusia 17 sampai 20 tahun yang baru menunaikan hak demokrasinya.

Artinya, bukan persoalan mudah menyosialisasikan pemilu di kalangan para pemilih pemula yang sebagian besar masih ”buta politik.” Selain menggunakan kampanye politik, sosialisasi terkait parpol, caleg dan capres dilakukan melalui media massa. Para pemilih sejatinya memiliki hak mendapat informasi lengkap tentang pemilu melalui media massa cetak dan elektronik radio/TV. Namun, kecenderungan media massa saat ini yang kian partisan, sehingga tidak lagi sepenuhnya objektif dalam menyosialisasikan Pemilu, menjadi sebuah persoalan serius. Konsekuen-sinya, para pemilih tidak akan memperoleh informasi lengkap dan berimbang tentang para calon wakil rakyat maupun calon presidennya.

Keberadaan media sosial yang penggunaannya terus tumbuh dalam lima tahun terakhir, menjadi sebuah fenomena menarik yang patut disimak.Kehadiran Internet bukan saja telah mengubah media habit masyarakat sekaligus juga menjadi katarsis bagi para pemilih muda. Pergeseran pola penggunaan media, dari media mainstream ke media baru, bukan semata karena faktor demografis pengguna media yang didominasi penduduk berusia muda yang juga pemilih muda.

Lebih substantif, hal itu terjadi karena lunturnya kepercayaan terhadap media mainstream yang kian terpolarisasi ke arah praktik oligopoli. Hal ini mendorong kecenderungan para pemilik dan pengelola media yang kian partisan dalam menyuarakan kepentingan politiknya, seraya menjadikan media sebagai alat untuk menyerang para lawan politiknya.

Mengawal Media

Para pemilih muda yang berasal dari generasi 80-an, kerap dijuluki sebagai digital native karena dibesarkan di tengah ekosistem media digital, alih-alih mengakrabi media mainstream justru mereka menjadi pengguna media baru berbasis Internet. Berdasarkan data yang dilansir Markplus Insight, pengguna Internet di Indonesia saat ini diperkirakan berjumlah lebih dari 61 juta, atau hampir seperempat populasi. ”Warga Digital” ini sebagian besar sudah tidak lagi mengonsumsi media konvensional. Hampir semua kebutuhan informasi dan hiburannya dipenuhi oleh media sosial yang bertumpu pada penggunaan peranti smartphone.

Trend ini justru harus dimanfaatkan oleh banyak pihak, bukan saja oleh penyelenggara Pemilu, pengelola media mainstream, parpol dan politisi, juga civil society yang ingin mengawal jalannya Pemilu 2014 sebagai pesta demokrasi yang akan membawa perubahan sosial. Keberadaan media sosial harus menjadi penyeimbang diantara media mainstream yang mulai terkooptasi oleh kepentingan politik segelintir kelompok elit, dengan berperan aktif memberikan informasi alternatif.

Media sosial sejatinya menjadi pelabuhan informasi yang tepat, ketika keputusan para pemilih muda didasarkan pada pertimbangan objektif dan rasional. Beserta media massa mainstream yang masih berpegang teguh pada prinsip-prinsip pelayanan informasi publik, media sosial harus menjadi pengawal terpercaya atas berlangsungnya Pemilu 2014.

Persoalannya, sekali lagi, siapa yang akan sepenuhnya mengendalikan media di tahun politik ini? Jawabannya, kita semua punya kewajiban mengawal media dalam menyukseskan tahun politik 2014 sebagai awal sebuah perubahan sosial ke arah yang lebih baik. Bukan sekadar pesta demokrasinya para elit politik.

 

 


Leave a Reply