MENGAWAL KEBEBASAN PERS


Wacana mengamandemen UU Pers kembali menguat, setelah tiga belas tahun pers di tanah air menikmati atmosfer kemerdekaan dan kebebasan mengekspresikan pendapat. Munculnya wacana amandemen yang telah menuai polemik ini tentu memiliki sejumlah alasan, meski di sisi lain menyisakan kegelisahan di banyak kalangan.

***

 

Wacana amandemen UU No. 40 tentang Pers kalah pamor di tengah hiruk pikuk isu revisi UU KPK yang menjadi trending topic di ruang publik saat ini. Padahal keberadaan UU Pers yang dirancang di awal era reformasi ini, merupakan salah satu produk monumental era pemerintahan Presiden Habibie. Mengingat UU Pers telah memengakhiri periode pemberangusan pers yang berlangsung sekitar tiga dekade. Kelahiran produk legislatif ini mengawali sebuah euforia politik baru yang ditandai dengan lahirnya ratusan media cetak baru di tanah air.

Kebebasan yang Kebablasan?

Namun, setelah tiga belas tahun ”mengawal” proses demokratisasi di negeri ini, UU Pers kembali digugat, dengan sejumlah alasan. Dengan mengatasnamakan kepentingan masyarakat, sejumlah pihak (pemerintah, DPR dan beberapa elemen masyarakat) menyuarakan lantang rencana mengamandemen UU Pers karena menilai praktik pers saat ini telah kebablasan. Lebih lanjut, UU Pers yang turut memicu euphoria politik di tanah air telah menyulut sumbu anarkisme di tengah masyarakat, yang turut memecah belah keharmonisan berbangsa!

Langkah mengamandemen UU Pers sekarang bukanlah upaya pertama. Sejak diundangkan pada 23 September 1999, undang-undang yang memberikan hak kepada insan dan institusi pers dalam menegakkan pilar keempat bernegara ini mengalami pasang surut. Pro dan kontra terkait keberadaan undang-undang yang melindungi institusi dan insan pers di tanah air ini mewarnai perjalanannya selama 13 tahun terakhir.

Riak pertama yang menggugat keberadaan UU Pers tercatat di tahun 2003. Rencana yang diinisiasi oleh Pemerintah bersama DPR ini langsung mendapat reaksi keras dan penolakan dari banyak kalangan, mulai dari praktisi media hingga berbagai elemen masyarakat yang memperjuangkan kebebasan berpendapat.

Perlawanan dari kalangan pers dan elemen masyarakat mencuat seiring dengan munculnya wacana memasukkan kembali aturan tentang penyensoran, pembredelan dan penghentian siaran oleh pemerintah. Selain itu pemerintah ikut campur dalam tata cara pemberian hak jawab.

Riak kedua pada tahun 2010 justru datang dari kalangan internal pers sendiri. Kali ini PWI yang menginisiasi amandemen UU Pers, dengan mengangkat isu menaikkan kesejahteraan jurnalis sebagai justifikasi. Asumsinya, bila kesejahteraan insan pers tidak diperjuangkan, maka mereka akan bertindak tidak profesional, sekaligus menyalahi kewenangannya untuk kepentingan pribadi. Hal ini, akan secara langsung mencederai praktik demokratisasi dan dalam jangka pendek punya andil merontokkan pilar keempat yang sejatinya dibangun oleh pers.

Kontak Pandora

Apakah pers kits – paska reformasi – sudah sangat kebablasan sehinga perlu mengamandemen UU Pers sebagai payung hukumnya? Kebebasan yang kebablasan seolah menjadi mantra bagi mereka yang ”alergi” dengan praktik jurnalisme saat ini.

Pers yang kebablasan juga dituding sebagai biang keladi segala hal yang negatif – diibaratkan Kotak Pandora yang mengeluarkan berbagai keburukan dan malapetaka. Pemberitaan yang bombastis dan sensaional, penonjolan aspek-aspek pornografi, pemerasan, hingga pengobar semangat kebencian dan permusuhan yang mengakibatkan terjadinya berbagai konflik horisontal maupun vertikal, itu semuanya bermula dari undang-undang pers yang memberikan kebebasan yang kebablasan.

Padahal, tanpa menafikkan ekses negatif yang muncul, keberadaan UU No. 40 tentang Pers telah mengantarkan bangsa Indonesia ke arah kehidupan bernegara yang lebih baik. Setidaknya, saat ini pers dapat menjadi mitra rakyat untuk mengontrol dan mengingatkan pemerintah, DPR maupun berbagai pihak yang merongrong kelanjutan demokrasi. Tidak terbayangkan bila pers yang bebas tidak hadir, kekuatan pro otoritarian dan oligarki ekonomi yang monopolistik akan kembali berkuasa di negeri ini!

Tengok sejenak sejarah kontemporer Indonesia yang lebih dari separuh abad, ketika pers di bawah kendali penguasa. Menjadi fakta historis bila UU Pers yang diberlakukan sejak tahun 1999, telah mengubah arah jarum sejarah praktik bermedia di Indonesia. Dari semula diatur oleh UU No.11 Tahun 1966, kemudian diperkuat lagi oleh UU Nomor 21 Tahun 1982 yang bercirikan sistem pers otoritarian menjadi pers bebas yang memberi ruang lebih besar bagi partisipasi publik.

Lebih dari setengah abad negara kita mengalami pemberangusan terhadap pers yang berlangsung sejak zaman kolonial, disusul di era Orde Lama dan belanjut hingga rezim Orde Baru. Di era pemberangusan pers, kehidupan bernegara dan berbangsa memang lebih ”stabil”, namun kebebasan berpendapat sangat dibatasi.

Pengalaman sejarah ini kemudian menjadi bukti pembelajaran tak ternilai tentang pentingnya kebebasan menyatakan pendapat – khususnya melalui media. Karena sejatinya hak-hak mendasar warganegara ini telah dijamin penuh secara konstitusinal oleh Pasal 28 UUD 1945.

Terlebih, sudah menjadi konvensi sosial bila pers yang bebas merupakan salah satu komponen yang paling esensial dari masyarakat yang demokratis. Terutama bila dikaitkan dengan kondisi bangsa kita yang tengah didera berbagai masalah yang sangat krusial, diantaranya dekadensi moral dan merebaknya praktik korupsi. Tak terbayangkan cara bangsa ini mengatasi berbagai permasalahan tanpa pers yang bebas.

Jadi, atas dasar dan urgensi apa UU No.40 tentang Pers harus diamandemen? Adakah pihak-pihak tertentu yang mengambil keuntungan dibalik rencana ini?

Penulis adalah dosen Ilmu Komunikasi, Fakultas Komunikasi dan Bisnis, Universitas Telkom.


Leave a Reply